Andrian Rizki Pradana |
Sudah tidak asing lagi nama kitab “Al-Majmu’” di telinga para penuntut ilmu. Bagaimana tidak, sebuah mahakarya yang berbobot tiada duanya ini menjadi rujukan utama fikih islami, baik dalam madzhab Asy-Syafii secara khusus, juga dalam berbagai madzahib fiqhiyah secara umum. Kitab ini merupakan sebuah babon yang mencakup ensiklopedia fikih Islami yang komprehensif dan representatif dalam khazanah Islam keilmuan fikih.
Kitab ini tidak jauh berbeda dengan beberapa mahakarya induk dalam setiap madzhab seperti Al-Muhalla karya Ibnu Hazm, Al-Umm karya Imam Asy-Syafii, Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dalam fikih Hanbali, dan Al-Mabsuth karya As-Sarkhasi. Al-Majmu’ memiliki keunggulan tersendiri dibanding yang lain; yang pembahasannya mencakup perbedaan perspektif madzhab serta disuguhkan tarjihnya dengan presisi, sebuah rujukan yang cocok dikonsumsi baik dari segi klasik maupun modern.
Baca Juga: Metode Rasulullah ﷺ Dalam Mengajar (Part I)
Kegigihan Imam An-Nawawi begitu kuat, di luar nalar sehingga berhasil melahirkan sebuah mahakarya ini. Namun sayang, beliau harus tutup usia terlebih dahulu sementara masterpiece-nya belum usai. Ketika itu beliau menulis sampai awal pembahasan mu’amalat. Kemudian datanglah Imam Taqiyuddin As-Subki; yang melengkapi kitab Al-Majmu’ hingga pembahasan murabahah, dan tak lama setelah itu beliau pun tutup usia.
Betapa eloknya kitab ini, disajikan oleh dua Imam besar yang berbeda zaman dan berpengaruh dalam regenerasi madzhab Asy-Syafii. Satunya dari Syam, sementara satunya lagi dari Mesir.
Setelah peristiwa ini, belum ada lagi yang melengkapi kitab tersebut dari kalangan fuqaha, bahkan berabad-abad lamanya. Saat itu rujukan induk komprehensif ini masih dalam cangkang manuskrip. Hingga memasuki tahun 1925 M barulah proyek ini kembali dilanjutkan. Pada saat itu Al-Azhar dipimpin oleh Imam Akbar Syeikh Muhammad Al-Ahmadi Adz-Dzawahiri (Grand Syeikh ke-30) dan didampingi oleh Rektor Al-Azhar, Syeikh Muhammad Musthofa Al-Maraghi.
Baca Juga: Yasinan Malam Nisfu Sya’ban Bid’ah?
Al-Azhar senantiasa berperan sebagai penjaga nilai-nilai keutuhan turats Islami. Dari sinilah muncul ide revitalisasi terhadap kitab Al-Majmu’ syarah Al-Muhadzab. Pada saat itu proyek ini dikepalai oleh Syeikh Mahmud Ad-Dinari, selaku ketua pelaksana dalam pentahkikan dan penerbitan ulang kitab Al-Majmu’.
Setelah mengalami pentahkikan yang begitu intens, kitab tersebut akhirnya berhasil dicetak kembali untuk yang pertama kalinya, dengan kisaran harga 60 pound-Mesir untuk 12 jilid. Kemudian, kitab ini dipublikasikan secara luas agar para pegiat ilmu mampu dengan mudah mengaksesnya serta mengkajinya.
Sehingga dari sinilah, terbukanya inisiatif Syeikh Muhammad Najib Al-Muthi’i untuk melengkapi kitab Al-Majmu’ dengan metode dua Imam besar pendahulu; An-Nawawi dan As-Subki. Hal tersebut merupakan kesan terimakasih beliau penuh terhadap Al-Azhar yang telah meghidupkan kembali kitab Al-Majmu’ dengan tahap tahkik dan pertama kali dicetak dari orisinil manuskripnya.
Berkat keikhlasan dan kegigihan para pewaris Nabi yang senantiasa menjaga nilai-nilai keilmuan Islam, maka kitab Al-Majmu’ semakin di depan; menjadi rujukan induk dalam khazanah fikih Islami yang dimuat dalam 23 jilid.
Menurut catatan sejarah Syeikh Muhammad Najib Al-Muthi’i belum pernah sekolah di madrasah Al-Azhar, ataupun di universitasnya. Meskipun begitu Syeikh Muhammad Najib Al-Muthi’i adalah pelajar asal Mesir tulen, beliau belajar dari banyak Masyayikh dan berpegang teguh dengan manhaj Al-Azhar, terang Syeikh Ahmad Al-Hajjin selaku muridnya,.
* Seorang mahasiswa yang sedang menempuh jenjang pendidikan di Fakultas Syariah Islamiyah Universitas Al-Azhar, Mesir.
Tinggalkan Balasan