M Irfan Kurniawan |
Seringkali kita dapati pola seperti ini; sebuah informasi masuk ke grup WhatsApp. Ketika ada yang memberitahu itu hoax, tidak benar atau kurang benar, dalih yang sering dipakai adalah; “Makanya saya share di group ini, apakah benar atau tidak informasi ini.” Dan begitulah seterusnya hingga kebiasaan asal sebar itu menjadi lumrah dan biasa.
Sekilas, seringkali isi berita dan informasi hoax itu seakan benar dan bermanfaat. Jadi, wajar siapapun akan langsung menganggap itu sebuah kebenaran dan layak serta patut disebarluaskan. Kewajaran ini seperti pohon besar tua yang rapuh di pinggir jalan: mesti ditumbangkan karena membahayakan!
Pada zaman digital ini kita mendapat kemudahan untuk mengakses dan menerima informasi. Di saat yang sama kita pun mulai kehilangan sikap kritis.
Mestinya, apapun yang kita terima, harus dicek ulang kebenaran dan validitasnya. Melakukan ini sepertinya mudah. Caranya ya lewat internet juga. Berkirim pesan ke personal (japri). Tidak dengan menyebarnya di grup. Cari kebenarannya. Pastikan validitasnya. Setelah dicek kebenarannya, silakan kalau mau disebar. Jangan terburu-buru sebar. Terburu-buru salah satu perbuatan setan, bukan?
Ya, sepertinya yang mulai pudar dari kehidupan kita saat ini adalah sabar. Sikap sabar harus kita implementasikan pada semua lini hidup, termasuk sabar untuk tidak langsung menyebar berita dan informasi yang masuk ke gawai kita. Mari sabar sebelum sebar.
Gus Nadirsyah Husein, ketua PCINU Australia; mewanti: “Saring sebelum sharing!”
Dalam tradisi keilmuan Islam juga ditonjolkan hal ini: pentingnya sanad.
Dalam proses keilmuan, sanad dan ketersambungan (ittishol) itu menjadi mutlak dan penting. Karenanya dalam tradisi pesantren hal itu terus dijaga; para santri bertatap langsung dengan Kiai. Kiai pun begitu, menyampaikan apa yang disampaikan oleh kiai-kiai dan guru-guru beliau hingga sumber pengetahuan itu sampai ke Rasul.
Karenanya kitab Ta’lim Muta’alim, kitab dasar yang dipelajari oleh santri baru di tiap pesantren, menekankan aspek ketersambungan (ittoshol) ini, yaitu dengan menjadikan murid bertatap langsung dengan guru sebagai syarat dan salah satu etika alias adab dalam belajar.
Nah, di zaman digital ini, meskipun akses bertemu langsung ini bisa dipangkas dengan kemajuan teknologi, setidaknya ketersambungan ini mesti terus terjaga. Maksudnya, informasi apapun yang masuk ke gawai kita mesti dicek kembali sumbernya.
Setidaknya kita sadar apapun yang kita sebar memiliki dampak dan efek samping. Ini seperti disinggung oleh Kiai Husein Muhammad yang bicara soal tadabbur.
Di salah satu media sosialnya, Kiayi Husein Muhammad, pendiri Rahima Cirebon, menulis soal arti tadabbur.
Beliau menuturkan bahwa tadabbur biasa diterjemahkan dengan “merenungkan” atau “memerhatikan”, dengan sungguh-sungguh.
Para ahli bahasa memaknai “tadabbur” sebagai: “melihat akibatnya”. Ia tidak sekedar memikirkan, merenungkan atau memerhatikan makna yang terkandung di dalamnya, melainkan lebih dari itu memikirkan gunanya, manfaatnya dan madaratnya, atau dampak positif dan negatifnya, baik dan buruknya.
Kiayi Husein mengutip Al-Jurjani yang mengatakan :
هو عبارة عن النظر في عواقب الأمور. وهو قريب من التفكر. إلاأن التفكر تصرف القلب بالنظر في الدليل والتدبر تصرفه بالنظر في العواقب
“Al-Tadabbur adalah memikirkan akhir masalahnya. Ia seperti “tafakkur” (olah pikir), tetapi “tafakkur”, mengarahkan akal/hati memahami tanda-tanda atau petunjuk-petunjuk, sedangkan “tadabbur”, mengarahkan akal atau hati kepada akibat atau akhirnya.”
Nah, sikap ini seperti air minum bagi mereka yang kehausan. Pun seperti tidur bagi mereka yang kantuk berat. Pun seperti kentut bagi mereka yang mules. Yaitu Melihat dampak dan efek dari apapun yang kita sebar di media sosial. Tentu saja itu mesti menggunakan akal dan hati. Kita masih punya akal dan hati, bukan?
| Alumnus pesantren Al-Amien Prenduan, penikmat senja.
Tinggalkan Balasan