Sepertiga Ilmu

– M Naf’an Fuadi – *

Ramadan bagi umat islam adalah bulan penuh berkah dan rahmah. Bulan penuh keutamaan dan bulan penuh ampunan. Umat Islam memiliki tradisi panjang dalam menyambutnya. 

Tak terkecuali bagi industri media televisi. Bulan ini selalu menjadi bulan idola. Prime time bagi acara berbau agama. Maka untuk menyambut bulan penuh ‘berkah’ ini dibutuhkan persiapan yang matang jauh hari sebelumnya. 

Tak jarang, tampillah orang yang lihai dengan keahlian dan kemampuan bicara manis mendayu di depan layar televisi. Sebagai penghargaan atas jerih payahnya lalu disematkan  gelar ustad. Semua pertanyaan dan keingintahuan ummat selalu mendapat jawab. 

Di bulan ini, popularitas ustad melesat melewati para selebriti. Ustad adalah figur utama pemuas kehausan publik atas agama. 

Popularitas seperti candu. Nikmat sekali. Satu sisi  memberikan kenikmatan. Tidak setiap orang mau melepaskannya. Di samping, yang tak kalah menakutkan, ia selalu menjerat dan memenjara para korbannya dalam dunia semu. 

Saya Tidak Tahu

Kepopuleran yang tidak dibarengi dengan ilmu lantas menjadikan ustad merasa gengsi ketika ditanya namun tidak bisa menanggapi. Walhasil dia selalu berusaha menjawab sekenanya. 

Ketika gelar ustad tidak dibarengi dengan kemampuan ilmu yang mumpuni, bukan pencerahan yang akan datang menghampiri. Yang bicara adalah nafsu yang menyesatkan.

Ada sebuah cerita yang masyhur yang terekam dalam sejarah. Al Qasim bin Ubaidillah adalah orang mulia dari  keturunan orang mulia. Dari garis ayahnya mengalir darah Umar bin Khattab. Sementara dari ibunya tertambat pula  nasab Abu Bakar as Shiddiq. Saat beliau ditanya atas sebuah perkara yang tidak, dan beliau tak memiliki jawabnya, sahabat beliau menganggap keadaan seperti itu sebagai sesuatu yang pantang terjadi bagi pribadi semulia beliau.

Apa yang terjadi malah sebaliknya. Al Qasim membantah. Bagi beliau tak jadi soal dan tidak perlu merasa malu untuk mengakui ketidaktahuan. Jawaban bernas beliau membuat Yahya bin Said diam seribu bahasa. “Ada yang lebih buruk dari itu bagi orang yang memenuhi kewajibannya kepada Allah, yaitu ketika aku berkata (menjawab) tanpa ilmu, atau aku mengambil (dalil/ilmu) dari (orang) yang tidak terpercaya.”

Dalam hal ini, Imam al-Qasim menyentak kesadaran kita untuk tetap berlaku hati-hati dalam persoalan agama. Ia tidak mau menyesatkan umat dengan jawaban yang ia sendiri tidak yakin kebenarannya. Baginya, diam lebih baik daripada menjaga citra kealimannya dengan menjawab “asal-asalan”. 

Karena itu, ia memberi penekanan dalam dua hal; pertama, menghindari jawaban tanpa ilmu, dan kedua, berhati-hati dalam mengambil dalil, riwayat atau ilmu dari orang yang masih belum jelas otoritasnya.

Oleh sebab itu, jikalau Anda menemui ustad yang terlahir dengan tradisi ini, ia tidak akan pernah gegabah untuk menjawab setiap pertanyaan tanpa telaah yang mendalam dan kajian ketat terkait tema dan sumber informasi yang harus didapat. 

Sebaliknya, ustad yang terlalu percaya diri memberi jawab setiap persoalan dengan modal kedangkalan ilmunya, ungkapan dari Imam Syafi’i semoga dapat dijadikan nasihat: “Cukuplah orang disebut berbohong jika ia menceritakan setiap yang ia dengar.”

Ingat, kedudukan seseorang tidak akan jatuh dengan mengatakan “Saya tidak tahu“ atas hal-hal yang tidak ia ketahui. Ini justru malah menunjukkan ketinggian kedudukan, keteguhan agama, takutnya kepada Allah Ta’ala, kesucian hati, sempurna pengetahuan serta kebaikan niatnya. 

Orang yang bersikap sebaliknya karena ia takut derajatnya jatuh di depan pemirsa televisi dan tidak khawatir jatuh dalam pandangan Allah, sikap Ini mewakili kebodohan. 

Jika gengsi masih melekat pada dirimu, dengarkan baik-baik  nasehat dari Imam Malik, guru besar fikih masa awal yang diikuti pengikut dari semua benua. “Menjawab tidak tahu adalah sepertiga dari ilmu.”

Wallahu a’lam. 

*Tokoh muda Islam

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *