Theologia Sinetrona dan Kritik Atasnya

Muhyidin Basroni |

Belum lama ini, orang-orang ramai menyoal sebuah cuplikan sinetron sebuah televisi swasta yang biasa membawa cerita-cerita drama berbalut agama Islam. Ada adegan di mana seorang laki-laki yang ceritanya tak punya tangan, harus menyendok makanan dengan kaki. Namun pada adegan berikutnya, tangan laki-laki ini nampak menyembul dari persembunyiannya di dalam baju. Karena teknis pengambilan gambar yang tak rapi, orang-orang pun menjadi heboh mencibirnya.

Tulisan ini hendak menyoal sinetron semacam ini, namun bukan dari sisi teknisnya, melainkan dari sisi alur cerita. Saat mengamati kecenderungan cerita dalam sinetron sejenis, muncul istilah teologi sinetron atau ‘theologia sinetrona’ dalam benak saya. Tontonan tersebut dalam penilaian saya cenderung menyuguhkan cerita penyelesaian masalah melalui sikap pasrah berlebihan tanpa cukup usaha memperjuangkan hak. 

Dalam ceritanya, seseorang yang dizalimi menampakkan kesalehan dengan lebih banyak mengucap zikir dan doa daripada berjuang menyuarakan haknya yang terenggut oleh kejahatan orang lain. Di akhir cerita, si jahat akan terhukum dengan sendirinya seperti tertabrak mobil atau tersambar petir, tidak melalui usaha perlawanan riil dari orang yang dijahati.

Sinetron semacam ini serupa dengan majalah keagamaan Islam yang pernah populer bertahun lalu. Dalam majalah ini, si jahat akan terhukum saat akhir hayatnya melalui sebentuk kehinaan yang bisa menjadi pelajaran bagi orang yang masih hidup. Bisa saja jasad si jahat ketika hendak dimakamkan menjadi berat atau berbau atau dirubung lalat atau yang lain. Bisa juga liang lahat yang dipersiapkan untuknya menyempit atau dipenuhi ular atau dipenuhi air dan seterusnya.   

Sebagai hiburan, sinetron semacam ini digemari karena memberi sensasi kegemasan dan kemarahan penonton yang memuncak, lalu dipungkasi dengan siraman kesejukan cerita kebahagiaan si baik dan kemalangan si jahat. 

Namun ketika kisah-kisah ini direproduksi terus menerus, orang akan terinspirasi untuk mengambil jalan sedemikian; membiarkan perbuatan lalim dan menyerahkan hukumannya pada Allah. Dongeng pun akhirnya bisa menjadi candu pelipur lara saat penikmatnya tak mampu melawan ketidakadilan di dunia nyata. Inilah kepasrahan atau fatalisme yang berlebihan.

Konsep tawakkal atau berserah diri kepada Allah jelas merupakan ajaran Islam. Namun demikian, Islam juga jelas mengajarkan agar sikap tawakkal ini juga mesti dibarengi dengan usaha nyata. Fatalisme berlebihan adalah hal yang tidak sejalan dengan ajaran untuk berusaha ini.

Dalam kondisi berjangkitnya pandemi Covid-19 saat ini misalnya, fatalisme berlebihan masih nampak di antara sebagian Muslim tanah air. Ungkapan ‘takutlah kepada Allah, jangan pada Korona’ tidak jarang kita baca dan dengar akhir-akhir ini. Dari ungkapan barusan, logika yang muncul adalah bahwa cara melawan pandemi adalah dengan menyerahkan nasib sepenuhnya kepada Allah.

Persoalan pembagian porsi antara jabr (keterpaksaan) dengan ikhtiyar (kehendak bebas) manusia telah menjadi bahan perdebatan dalam Islam sajak masa lampau dan akan terus ada di masa depan. Baik dalil tentang qadr (suratan Tuhan) maupun dalil tentang perintah berusaha, keduanya sama-sama ada.  Dalam sejarah teologi Islam, orang mengenal aliran Jabariah yang meyakini kemutlakan suratan Allah secara ekstrim di satu kutub dan aliran Qadariah yang meyakini kemerdekaan perbuatan manusia secara ekstrim di kutub yang lain.

Aliran Mu’tazilah yang seirama dengan pemikiran Qadariah dalam urusan free will atau kehendak bebas bahkan pernah menjadi ideologi resmi Dinasti Abbasiah. Buah dari ideologi ini adalah kemajuan dari filsafat dan ilmu pengetahuan yang membawa pada hadirnya Masa Keemasan Islam. Namun sisi kelam dari masa ini adalah persekusi terhadap para agamawan Islam yang tidak sependapat dengan ideologi penguasa dalam beberapa persoalan teologis.

Ada satu buku yang sudah hampir dua dasawarsa diterbitkan, tapi masih punya relevansi terkait isu teologi di Indonesia. Buku ini berjudul Modern Trends in Islamic Theological Discourse in 20th Century Indonesia: A Critical Survey (2001), di mana Fauzan Saleh memaparkan bahwa saat ini aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah atau Sunni adalah yang dominan di kalangan muslim dunia, tak terkecuali di Indonesia. Meski ada variasi pemikiran dalam aliran Sunni, namun aliran ini diidentikkan dengan teologi Asy’ariah rintisan Imam Abu Hasan Al Asy’ari ( w. 324 H / 936 M). Identifiksai ini bisa dimaklumi adanya karena sampai saat ini teologi Asy’ariah adalah corak pemikiran yang dominan di kalangan Sunni. 

Di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi yang dengan gamblang menyatakan teologi Asy’ariah dan Maturidiah sebagai ajaran yang dianut dalam hal akidah. Pada perjalanannya, teologi Maturidiah rintisan Abu Mansur Al Maturidi (w. 333 H / 944 M) relatif lebih kecil persebarannya akibat minimnya rujukan referensi. Kedua corak teologi ini, baik Asy’ariah maupun Maturidiah, ditolak oleh kaum Sunni puritan karena dianggap hal baru yang tidak otentik bersumber dari ajaran Rasulullah Muhammad SAW. 

Secara historis, teologi Asy’ariah hadir dari pergumulan sang perintis dengan teologi Mu’tazilah yang sangat rasional dan mengedepankan kehendak bebas. Karena lahir di babakan sejarah ini, teologi Asy’ariah kemudian kerap disalahmaknai sebagai anti rasionalitas bahkan sebagai pro determinisme dan fatalisme. Padahal sebenarnya, teologi Asy’ariah membawa semangat moderasi atau wasathiyah, termasuk moderasi antara teks dan nalar juga antara jabr dan ikhtiyar

Sayangnya lagi, salah mendudukkan teologi Asy’ariah sebagai sumber legitimasi sikap deterministik maupun fatalistik juga dilakukan oleh banyak pengikutnya sendiri. Ini menunjukkan bahwa semestinya para ulama penerus tradisi teologi ini harus terus berjuang merevitalisasi ajaran moderasi atau kesetimbangan yang dikandungnya. 

Sebenarnya dalam bahasa sehari-hari, kita akrab bergaul dengan istilah-istilah yang merujuk pada konsep kesetimbangan tersebut. Kata-kata semisal ‘usaha dan doa’ atau ‘berusaha dan bertawakkal’ atau ‘manusia wajib berusaha, Allah yang menentukan’ adalah contohnya. Tidak melalui para ahli teologi Islam atau Ilmu Kalam, rumusan kesetimbangan ini lahir melalui pengalaman hidup masyarakat sehari-hari dalam merefleksikan takdir dan usaha. 

Sudah semestinya sinetron televisi bertema Islam turut memberi pelajaran tentang usaha menghindari sikap fatalisme berlebihan, bukan malah merayakannya. Alur cerita tentang orang yang selalu mengalah dan menunggu datangnya pertolongan Allah  bisa mengilhami orang untuk bertindak serupa. Awalnya, orang mencari sensasi kenikmatan dengan menyaksikan cerita orang kalah yang dirundung kejahatan sepanjang cerita lalu menang telak di akhir. Lalu, sensasi semacam ini dicoba untuk dirasakan langsung di dunia nyata.

Semestinya juga sinetron televisi bertema Islam juga menyuguhkan cerita-cerita yang membangun semangat usaha memperjuangkan hak. Ini mungkin tidak strategis dalam urusan rating, namun menunjukkan tanggung jawab pengajaran tentang agama yang menjunjung tinggi semangat perjuangan. Pun pada akhirnya, apabila kita tidak bisa menghindari cerita semacam ini, minimal kita memasang filter diri agar tidak membawa sensasi sinetron ke kehidupan nyata. Mungkin petikan salah satu lagu grup band cadas tanah air, Jamrud,  yang berjudul ‘Berakit-rakit’ bisa menjadi pengingat. Katanya “ini bukan cerita sinetron; yang sabar selalu menang di akhir episode.” []

| Alumni Universitas Al Azhar Kairo, peminat kajian sejarah dan seni-budaya Islam, kini mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *