Tipologi Pembacaan Ulama Fikih atas Hadits

– Zulfahani Hasyim – 

Selama ini, kebanyakan kita mengenal derajat suatu hadits dari ulama-ulama hadits. Dan sejalan dengan itu kita sering melihat catatan kaki di kitab-kitab fikih berisi penjelasan derajat suatu hadits berdasarkan standar penilaian hadits oleh ulama hadits. Namun jarang kita sadari bahwa ternyata ulama fikih memiliki standar penilaian hadits yang berbeda dengan para ulama hadits. Di sinilah sering muncul pertanyaan, mengapa hadits yang dipakai oleh ulama-ulama fikih di dalam kitab-kitab fikih seringkali lemah atau dha’if? Barangkali tidak sepenuhnya lemah, namun standar penilaian terhadap hadits tersebut yang berbeda dengan standar yang dipakai ulama-ulama hadits.

Para ulama fikih memiliki cara dan metodologi yang berbeda dalam menilai sebuah hadits dengan para ahli hadits. Sehingga hasil penilaiannya juga berbeda. Para pengkaji fikih Islam sudah seharusnya mengetahui perbedaan ini agar tidak terjebak dengan penilaian hadits dari ulama hadits saja. Seorang ulama hadits tidak mesti seorang fakih (ahli fikih), sedangkan para fakih pasti seorang muhaddits (ahli hadits).

Hal ini yang sering membikin terjadinya kerancuan di kalangan masyarakat awam, di mana mereka gunakan pendapat para ulama hadits untuk menilai para ahli fikih. Seringkali rujukan hukum dari suatu masalah bukan diambil dari kitab-kitab fikih namun diambil dari kitab-kitab hadits atau syarahnya. Padahal para ulama fikih dalam mengarang kitab-kitab fikih sudah dipastikan telah melalui kajian hadits terlebih dahulu. Bukan bermaksud membenturkan keduanya (ulama fikih dan ulama hadits), namun pandangan masyarakat terhadap keahlian para ulama fikih di bidang hadits masih perlu banyak dibenahi.

Salah satu syarat menjadi seorang mujtahid adalah menguasai hadits dan ilmu hadits. Maka para ahli fikih bisa dipastikan mereka telah melalui proses menjadi seorang ahli hadits. Dan dalam menilai sebuah hadits, para ahli fikih yang telah melewati proses menjadi ahli hadits juga memiliki standar yang berbeda dari para ahli hadits. Mengapa demikian? Karena dalam proses pengambilan hukum dari sebuah teks hadits, para ahli fikih memiliki lebih banyak pertimbangan dari sekedar menilai seorang perawi hadits itu bisa diterima atau tidak haditsnya.

Selain itu, para ahli fikih juga harus melihat kontekstualitas hukum yang akan diambil dari teks hadits saat hadits tersebut muncul. Dari pertimbangan ini akan muncul penilaian yang berbeda dari apa yang dilakukan oleh para ahli hadits yang hanya bersandar pada teks haditsnya tanpa melihat kontekstualitas hukum yang ada padanya.

Lantas bagaimana para ulama fikih menilai sebuah hadits?

Secara umum penilaian ahli fikih terhadap sebuah hadits dikelompokkan kepada dua golongan, yaitu Jumhur Ulama dan Ulama Hanafiyah. Ulama Hanafiyah memang memiliki standar yang berbeda dengan mayoritas ulama fikih namun masih tetap dalam koridor syariat.

Dalam menerima hadits mutawatir para ahli hadits dan ahli fikih tidak memiliki perbedaan. Perbedaan baru nampak dalam penilaian terhadap hadits ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan hanya dalam satu jalur periwayatan. Bagaimana penilaian para ahli fikih terhadap hadits-hadits ahad? Berikut penjelasannya.

Ulama Hanafiyah

Dalam menerima hadits ahad, ulama Hanafiyah memberlakukan tiga syarat yaitu; pertama, haditsnya masyhur diketahui oleh banyak ulama fikih. Sehingga hadits yang tidak banyak dikenal oleh para ulama atau biasa disebut gharib, menurut ulama Hanafiyah dikategorikan lemah atau dha’if. Sebaliknya jika hadits ahad ini diketahui oleh banyak ulama fikih maka hadits itu tetap diterima.

Kedua, hadits tersebut tidak menyelisihi qiyas jaliy, yaitu qiyas yang illat-nya ditetapkan oleh nash bersamaan dengan hukum dasarnya (ashl), atau nash tidak menetapkan illat-nya, tetapi dipastikan bahwa tidak ada pengaruh perbedaan antara ashl dengan furu‘. Jika hadits tersebut selaras dengan qiyas jaliy, hadits tersebut bisa dimasukkan dalam kategori sahih. Sebaliknya jika bertentangan dengan qiyas jaliy, hadits tersebut masuk kategori dha’if.

Ketiga, perawi hadits tidak menyelisihi hadits yang diriwayatkannya. Sebagai contoh, hadits tentang kenajisan anjing yang berbunyi. “Apabila seekor anjing minum di wadah air salah satu dari kalian, maka basuhlah (wadah air itu) tujuh kali.” Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Namun dalam praktiknya diketahui dari sebuah riwayat bahwa Abu Hurairah hanya membasuh tiga kali. Maka dari itu ulama-ulama Hanafiyah menolak hadits ini, atau setidaknya menilai bahwa hadits ini tidak kredibel untuk menentukan hukum kenajisan anjing.

Jumhur Ulama

Jumhur ulama atau mayoritas ulama fikih memiliki syarat-syarat penerimaan hadits ahad yang berbeda dengan ulama-ulama Hanafiyah. Syarat-syarat tersebut secara umum terbagi dalam dua sisi, yaitu sisi perawi hadits dan sisi hadits yang diriwayatkan (matan).

  • Sisi Perawi

Pertama, perawi hadits haruslah seorang mukallaf. Mukallaf maksudnya adalah orang yang terkena hukum taklif atau hukum syariat sehingga perbuatannya mengandung nilai hukum. Syarat mukallaf adalah dewasa, berakal sehat, dan memiliki kebebasan memilih suatu perbuatan (bukan dalam keadaan terpaksa). Dengan demikian hadits yang berasal dari seseorang yang masih anak-anak tidak bisa diterima. Begitu juga hadits yang berasal dari orang yang hilang akal sehatnya atau orang yang dalam keadaan dipaksa untuk melakukan sesuatu juga tidak bisa diterima.

Syarat yang kedua adalah Islam. Dengan syarat kedua ini tidak bisa diterima hadits yang diriwayatkan oleh perawi beragama non-Islam. Dari syarat pertama dan kedua ini, nampak nalar fikih mendominasi metode kritik hadits para ahli fikih mayoritas.

Syarat ketiga adalah adil. Adil yang dimaksud di sini adalah seorang perawi hadits haruslah seorang yang bertakwa, meninggalkan maksiat, dan menjaga diri dari perbuatan-perbuatan sia-sia. Syarat ketiga ini adalah penekanan sisi akhlak dan etika seorang perawi hadits. Artinya selain perawi hadits dituntut untuk memenuhi syarat taklif dan kekuatan hafalan, mereka juga dituntut untuk mengaplikasikan ilmunya dalam bentuk moralitas dan etika yang baik. Mereka bukan hanya intelektual yang hanya menguasai teks namun juga berakhlak mulia.

Syarat keempat adalah akurasi dan ketelitian sang perawi (dhabth). Akurasi dan ketelitian ini sangat membutuhkan daya ingat dan daya hafal yang bagus. Artinya seorang perawi akan ditolak haditsnya jika mereka tidak akurat dalam meriwayatkan sebuah hadits, atau terdapat bukti kekurangtelitian mereka dalam meriwayatkan hadits. Maka kemampuan intelektual perawi juga sangat penting bagi penilaian hadits-hadits yang disampaikan olehnya.

  • Sisi Hadits yang Diriwayatkan

Dari segi hadits yang diriwayatkan para ulama fikih juga memasang syarat bagi diterima atau ditolaknya sebuah hadits tersebut. Ada dua syarat utama dari segi ini yaitu: Pertama, hadits harus diriwayatkan dengan lafal aslinya. Ini artinya hadits akan ditolak jika diriwayatkan berdasarkan makna saja. Hal ini menyangkut masalah amanah dan tidak amanahnya seorang perawi. Dengan diriwayatkan sesuai lafal aslinya, ini artinya perawi amanah dalam menjaga riwayat hadits tersebut.

Yang kedua, hadits tersebut secara tekstual mungkin untuk diamalkan dan tidak perlu merujuk kepada pendapat Sahabat sebagai penafsirannya. Syarat ini berbeda dengan syarat madzhab Hanafi yang menerima hadits-hadits yang masih memerlukan pendapat Sahabat tentang pengamalan hadits tersebut. Ini artinya hadits-hadits yang masih membutuhkan penafsiran para Sahabat dalam mengamalkannya masuk kategori ijtihad Sahabat bukan kategori hadits sahih. Sedangkan ijtihad bukan merupakan dalil qath’i yang tetap.

Syarat-syarat hadits yang bisa dijadikan dalil menurut ulama fikih

Adapun hadits-hadits yang bisa dijadikan dalil dalam pengambilan hukum juga tidak lepas dari syarat-syarat yang dibuat oleh para ahli fikih. Ada tiga syarat yang menjadikan sebuah hadits bisa dijadikan landasan hukum fikih yaitu:

Pertama, hadits tersebut tidak mustahil keberadaannya di dalam akal dan pancaindera manusia. Maksudnya konten hadits tersebut masuk akal dan tidak menyalahi pancaindera manusia. Di sinilah letak rasionalitas para ahli fikih yang kemudian menjadikan mereka menolak hadits-hadits yang berisi hal-hal yang tidak masuk akal, mistis, dan tidak tercapai oleh pancaindera manusia.

Kedua, hadits tersebut tidak bertentangan dengan teks-teks syariat yang qath’i, baik dengan Al-Qur’an maupun sesama hadits. Artinya jika ada hadits yang bertentangan dengan teks-teks syariat yang sudah qath’i maka hadits itu tertolak menurut para ahli fikih.

Ketiga, hadits tersebut tidak bertentangan dengan ijma’ ulama. Maksudnya konten hadits tersebut tidak menyelisihi kesepakatan para ulama umat Islam. Hal ini didasarkan dari hadits yang menyebutkan bahwa umat Nabi Muhammad SAW tidak akan bersepakat dalam hal kesesatan. Dengan demikian jika ada hadits yang bertentangan secara lahiriah dengan ijma’ ulama maka hadits tersebut tidak dapat dijadikan dalil.

*Zulfahani Hasyim adalah Alumnus Al-Azhar University of Cairo. Kini mengajar di beberapa kampus. 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *