Hijrian Angga Prihantoro |
Kerangka Teori Umum
Kajian mengenai dialektika teks dan konteks merupakan diskursus sentral yang dapat memantik berpikir ilmiah bagi siapa saja yang menikmati laku interpretatif dalam ranah pemikiran Islam. Wacana membuka cakrawala baru dalam pemikiran Islam telah diupayakan oleh banyak pemikir dari berbagai macam disiplin ilmu.
Hassan Hanafi sebagai sosok yang menguasai banyak fann ilmu, turut hadir dengan segenap karya-karya monumentalnya. Dengan mendomestifikasikan fenomenologi sebagai metodologi riset dalam kajian keislaman, Hassan Hanafi mempromosikan mega proyeknya melalui Al-Turâts wat Tajdîd sebagai kesadaran kritis dan humanis untuk menata kembali konstruksi ilmu-ilmu keislaman.
Upaya untuk membangun kembali konstruksi ilmu-ilmu keislaman, bagi Hassan Hanafi, idealnya menggunakan pendekatan dua sudut pandang sekaligus: tradisi pemikiran klasik (at-Turâts) dan pembaharuan (at-Tajdîd). Sebelum seseorang berbicara tentang pernak-pernik epistemologi ilmu-ilmu keislaman, dalam upaya rekonstruksi pemikiran, bagi Hassan Hanafi, penting untuk dijelaskan terlebih dahulu apa itu tradisi pemikiran klasik dan apa itu pembaharuan. Hal inilah yang secara sengaja dikaji lebih awal oleh Hasan Hanafi sebagai platform teoretiknya dalam buku at-Turâts dan at-Tajdîd.
Hassan Hanafi melihat bahwa upaya pensakralan (at-taqdisiyyah) terhadap at-Turâts akan memberikan narasi negatif terhadap at-Turâts itu sendiri. At-Turâts dipandang tidak lebih hanya sebagai sebuah dokumentasi sejarah dan oleh karenanya akan dianggap sudah final. Dengan ini, Hassan Hanafi ingin menyadarkan kita bahwa idealnya at-Turâts difungsikan sebagai pemantik gagasan berpikir progresif agar menjadi at-Turâts yang senantiasa hidup (Living at-Turâts). Karena sejatinya, bagi Hassan Hanafi, at-Turâts merupakan “modal pengalaman” bagi sebuah pemikiran (asbaqiyyat al-wâqi’ ‘alâ al-fikr).
Berbeda dengan at-Turâts yang telah “menjadi”, at-Tajdîd harus disadari sebagai langkah reflektif agar pemikiran keagamaan klasik tidak tertinggal jauh dari realita ilmiah yang mengitarinya. Realita yang selalu berkembang dengan dinamis senantiasa meniscayakan upaya pembacaan baru terhadap kerangka konseptual ilmu-ilmu keislaman (i’âdat al-binâ al-‘ulûm) yang selama ini dianggap sudah matang. Oleh sebab itu, at-Tajdîd bisa hadir sebagai potret dinamis (at-tashawwur ad-dînâmiy) dalam dimensi plural teks-teks keagamaan.
Lain dari pada itu, at-Tajdîd, bagi Hassan Hanafi, juga memiliki fungsi sebagai potret praktis (at-tashawwur al-‘amaliy) terhadap at-Turâts sekaligus. Pada titik ini, at-Tajdîd akan terus berupaya mengetengahkan wacana-wacana baru terhadap at-Turâts agar nilai-nilai prinsipil di dalamnya bisa dientitaskan sehingga dapat relevan. Dengan demikian, orientasi at-Tajdîd adalah sebentuk upaya rekonstruksi transformatif [yang dibahasakan oleh Hassan Hanafi: min – ilâ] dari kesadaran Living Turâts menuju perubahan sosial (at-taghayyur al-ijtimâ’iy) yang tidak hanya kritis tapi juga inklusif sekaligus.
Untuk menguatkan perspektifnya bahwa pembaharuan pemikiran terhadap ilmu-ilmu keislaman harus mempertimbangkan dua sisi kesadarannya sekaligus, Hassan Hanafi menghadirkan konstruksi paradigmatiknya dalam bentuk pertanyaan filosofis:
(لماذا التراث و التجديد و ليس تجديد التراث)
Mengapa “tradisi dan pembaharuan” (at-Turâts wa at-Tajdîd)? Dan tidak langsung “pembaharuan tradisi” (Tajdîd at-Turâts)?
Pertanyaan yang sederhana namun sangat prinsipil dan kritis. Bagi Hassan Hanafi, “At-Turâts dan at-Tajdîd” masing-masing harus disadari sebagai sebuah entitas fenomenologis. Kesadaran ini akan memberikan pemahaman kepada kita bahwa keduanya dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Dinamika teks dan konteks dalam potret dialektis At-Turâts dan at-Tajdîd merupakan bentuk kesadaran transformatif-progresif dari makna lama menuju makna-makna baru yang lebih relevan.
Sedangkan “pembaharuan tradisi” (Tajdîd at-Turâts), bagi Hassan Hanafi, tidak lebih sebagai bentuk rekonstruksi pemikiran dengan model terjun bebas. Sebab dengan ini, yang hadir bukan dialektika relasional. Karena at-Turâts sebagai sebuah entitas fenomenologis dibetot secara destruktif dan dipaksakan untuk langsung tunduk dengan realita.
Upaya “pembaharuan tradisi [khazanah pemikiran klasik]” secara langsung justru akan menjadi bumerang terhadap at-Turâts itu sendiri. Oleh sebab itu, jika kita gagal memaknai at-Turâts sebagai entitas fenomenologis yang hidup, maka kecacatan paradigmatik dalam upaya rekonstruksinya adalah harga mahal yang harus dibayar.
Berdasarkan dari apa yang telah diulas, dapat disimpulkan bahwa at-Turâts dan at-Tajdîd harus dipahami secara bersamaan dalam ruang teoretis-praktisnya masing-masing. Karena jika at-Turâts dan at-Tajdîd langsung digabungkan begitu saja, maka upaya menata kembali konstruksi ilmu-ilmu keislaman, bagi Hassan Hanafi, tidak akan pernah benar-benar berhasil. [bersambung]
| Dosen UIN Kalijaga, Pengurus Lakpesdam PWNU Jogjakarta, menulis beberapa buku, di antaranya, Logika Ushul Fikih (Editor) dan Filsafat Hukum Islam Indonesia; Sakralitas dan Pluralitas (2019).
Tinggalkan Balasan