Walang Gustiyala |
Berapa dolar AS anggaran pemerintah dalam perang melawan sampah plastik?
Diksi ‘perang’ bukan pilihan saya, itu istilah yang dipakai PBB dalam kaitannya melawan sampah plastik. Siapapun menyadari itu bukan ungkapan yang lebay, karena tidak ada yang melebihi sampah plastik dalam merepresentasikan peran sebagai senjata perusak lingkungan. Dan Indonesia, bumi pertiwi kita, menempati peringkat kedua di dunia sebagai produsen senjata tersebut. Nomor satunya tentu saja China.
Sebagai negara yang bertanggung jawab atas garis pantai sepanjang 54.000 Km, pemerintah Indonesia berjanji turut andil dalam mengurangi plastik baik di daratan maupun di lautan dengan menyiapkan anggaran sebesar satu miliar dolar AS. Itu berita menggembirakan yang terekam di koran-koran pada 2017 lalu.
Demikian pula upaya bertema Gerakan Peduli Sampah 2020 dengan mengampanyekan Less Plastic, Be Fantastic! yang disosialisasikan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, Siti Nurbaya. Sebagai pimpinan Delegasi Indonesia, gerakan tersebut beliau sampaikan langsung dalam sidang ke-2 United Nations Environment Assembly (UNEA) pada 26 Mei 2016 silam di Nairobi, Norwegia.
Kampanye tersebut merupakan lanjutan dari pencanangan gerakan peduli sampah yang telah dimulai di Indonesia dengan kegiatan antara lain; penerapan Plastik Berbayar 2016, program “Tanggung Jawab Produsen”, Anugerah Adipura, Gerakan Pembersihan Pantai dan Taman Nasional, dan lain sebagainya.
Bagaimana hasil evaluasi hari ini?
Tidak perlu evaluasi dengan data-data yang akurat, selama masih menempati peringkat kedua sebagai produsen sampah terbesar, upaya apapun akan dianggap tidak maksimal. Istilah kasarnya, sebut saja, gagal.
Butuh berapa milyar dolar lagi dalam memenangkan perang melawan musuh terbesar abad ini? Barangkali ini pertanyaan yang keliru, karena secara tidak langsung mengindikasikan bahwa semakin besar dana yang dianggarkan maka musuh akan semakin lemah. Benarkah demikian? Tentu saja tidak, bila sejatinya musuh yang kita hadapi adalah diri kita sendiri yang tinggal di jaman plastik tetapi tidak begitu mengerti apa yang musti dilakukan terhadap plastik.
Semakin jelas, permasalahan kita murni permasalahan edukasi. Pendidikan alam dan lingkungan kita tampak hanya sebatas menempati dan mengolah, belum sampai pada tahap mencintai dan menjaganya dari bermacam bentuk pencemaran. Jika demikian, maka emas segunung pun bila didolarkan tidak akan menjadi obat bagi luka yang diderita lingkungan.
Para ilmuwan yang terhimpun dalam Ellen MacArthur Foundation yang dirilis dalam The World Economic Forum di Davos meyakini bahwa seluruh massa plastik di samudera dapat melebihi seluruh jumlah ikan di dalamnya dalam kurun waktu 30 tahun. Hari ini saja diperkirakan sudah 165 juta ton limbah lautan berujung di atas meja makan.
Mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang adalah tiga hal mendesak yang harus dilakukan setiap orang. Membawa tas yang bisa digunakan kembali setiap kali ke supermarket, mengisi ulang botol air mineral, menghindari makanan dengan kemasan berlebihan, juga beberapa hal kecil lain dalam mengurangi penggunaan plastik yang harus dilakukan semua orang jika tidak ingin bumi kita menjadi neraka mulai 20 tahun mendatang.
Namun yang jauh lebih penting dari itu adalah penjelasan tentang kenapa hal-hal kecil tersebut musti digalakkan; bahaya apa bila dicampakkan; termasuk langkah-langkah edukatif lain seputar plastik dan ancamannya terhadap lingkungan.
Polusi laut jauh lebih buruk dari yang sanggup kita perkirakan.
95% dari kemasan plastik yang diproduksi setiap tahun sekejap hilang dari peredaran setelah sekali pakai. Kemana? Menjadi bom yang siap menghancurkan kesehatan ekosistem.
Dilaporkan juga bahwa dari semua plastik yang diproduksi setiap tahun, hanya 5% yang didaur ulang secara efektif, sekitar 40% terkubur di tempat pembuangan sampah dan sekitar 32% gentayangan di lautan.
Laporan yang kita terima hari ini mendesak kita untuk mengambil tindakan tegas sembari memikirkan kembali upaya kita untuk menggunakan plastik daur ulang. Hal itu juga menunjukkan bahwa upaya membantu mengurangi limbah plastik tidak hanya dengan memproduksi plastik yang dapat digunakan kembali, tetapi juga mencetak plastik kompos, yakni generasi plastik terbaru yang dapat terurai secara hayati melalui pengomposan.
Sekitar 500 singa laut ditemukan mati dan membusuk di sebuah pantai sekitar 250 mil di utara ibukota Peru, Lima, setelah melewati penyelidikan terbukti karena menelan sejumlah plastik yang mencemari perairan. Itu hanya satu dari ribuan kasus yang semakin hari kurvanya semakin naik.
Samudera pasifik memiliki dua titik yang akrab kita dengar sebagai Ocean Garbage Patch (Penampungan Sampah Laut), sering disebut sebagai vorteks (pusaran) sampah Pasifik, karena puing-puing plastik telah dan akan ‘bertawaf’ selama berabad-abad di sana.
Vortex tersebut memiliki panjang diperkirakan sekitar 2.200 km dan lebar 800 km, hampir tiga kali ukuran Spanyol dan Portugal bila digabungkan. Ia terdiri dari beratus juta ton plastik dengan ukuran yang bermacam-macam, dari yang terbesar hingga yang sudah dalam bentuk mikroplastik. Sebagian mengapung di atas permukaan, sebagian lain yang jumlanya lebih banyak dapat dijumpai di sepanjang dasar lautan.
Program lingkungan PBB memperkirakan bahwa, di seluruh dunia pada setiap mil persegi air lautnya, mengandung 46.000 keping sampah.
Dari sekelumit data di atas, yang hendak diungkapkan di sini adalah kaitannya tentang limbah plastik yang jelas bukan sekadar bencana nasional. Indonesia, sekali lagi sebagai penyumbang sampah terbanyak kedua tentu dicatat sebagai salah satu pendosa lingkungan terhebat yang harus bertanggung jawab di depan pengadilan internasional.
Tanggung jawab negara berarti bukanlah tanggung jawab pemerintahnya saja, melainkan juga seluruh rakyat harus memainkan perannya masing-masing. Boleh jadi pemerintah memang kurang tegas sehingga upaya menanggulangi masalah ini terkesan kurang maksimal, namun bisa jadi hingga detik ini pemerintah sudah sekuat tenaga memeperagakan bermacam cara menyikapi hal ini.
Lewat prasangka sederhana di atas, diharapkan kesadaran individu setiap orang tergugah dari dosa-dosanya terhadap lingkungan selama ini, lalu kemudian mulai berbenah.
Melati Wijsen, aktivis lingkungan asal Bali yang sempat kesohor itu, di depan kamera wartawan asing melontarkan pernyataan yang tidak hanya layak direnungkan, namun wajib didukung dan dibuktikan: “Jumlah sampah plastik di lautan akan lebih banyak dibanding ikannya pada tahun 2050 bila saat ini kita tidak melakukan apa-apa. Siapapun pasti membatin apa yang bisa kita lakukan? Apa yang sudah dan sedang dilakukan orang lain? Sebagai generasi muda kita tidak pantas menunggu beruban untuk sebuah perubahan. Kita musti bertindak sekarang.”
*Seniman, penyair, pemikir, mengajar di Pesantren Tahfizh al-Qur’an Daarul ‘Uluum Lido, Cigombong – Bogor.
Tinggalkan Balasan