The Next COVID-19 dan Aktualisasi Fikih Alam

Walang Gustiyala

Bagimana bila setelah Covid-19, muncul yang namanya Covid-22 dan covid-covid yang lain? Akankah kita siap menghadapinya? Benarkah sekadar persiapan yang kita butuhkan? Atau, siapakah yang bisa menjamin bahwa tidak akan muncul covid-covid susulan, sedangkan para saintis justru mengimani sebaliknya, cepat atau lambat?

Tidak perlu dijawab, yang dibutuhkan hanya kesadaran bahwa pertanyaan-pertanyaan serupa di atas itu ada, dan perlu.

“Ini bukanlah bencana pandemik terakhir yang akan kita alami, ” ucap Alanna Shaikh, seorang pakar sistematika kesehatan yang sudah 20 tahun berkiprah di bidangnya dalam khutbah seremonial rutin di TED beberapa waktu lalu. Perempuan berwajah India ini menambahkan: “Akan lebih banyak lagi bencana-bencana epidemi menyusul.”

Tanpa bermaksud mendramatisir keadaan, master bidang kesehatan internasional ini juga menekankan bahwa asumsinya bukanlah sekadar kemungkinan, melainkan kepastian.

Kepastian yang akan terjadi sebagai akibat dari bagaimana kita memperlakukan planet ini.

Pilihan-pilihan yang sudah sejauh ini kita ambil telah menempatkan kita dalam posisi terus-menerus mengalami hal serupa. Perubahan iklim juga memainkan perannya, dunia yang semakin terbakar di satu sisi dan membeku di sisi lain hanya akan membuatnya semakin nyaman (hospitable) bagi sejumlah virus dan bakteri mematikan. Selain itu, juga sebagai akibat kebuasan manusia dalam merampas hak-hak binatang liar untuk berkembang bebas di alamnya.

Shaikh memberikan gambaran ketika manusia membajak hutan lembab Amazon demi industri pangan; ketika semak terakhir di Afrika disulap menjadi lahan pertanian; ketika binatang-binatang liar di Cina dan sejumlah belahan dunia diburu habis-habisan untuk diperdagangkan, adalah sebuah keniscayaan bagi manusia berurusan langsung dengan populasi satwa liar yang tidak pernah semarak ini sebelumnya.

Populasi tersebutlah yang semakin hari semakin menambah ragam wabah seperti virus, bakteri, dan hal-hal serupa yang mana lagi-lagi manusia tidak memiliki persiapan.

Kelelawar misalnya, berpotensi sekali untuk menularkan penyakit, namun ia bukan satu-satunya binatang yang berpeluang sama. Selama cara manusia dalam berinteraksi dengan alam seperti yang berlangsung di sepanjang era modern ini, bencana-bencana serupa akan terus berdatangan.

Covid-19 terbukti menjadi beban berat bagi sistem kesehatan manusia secara merata. Lebih jauh lagi, Shaikh memperlihatkan betapa lemahnya persiapan dan persediaan medis yang kita butuhkan. Toh, sesigap apapun manusia melawan makhluk yang mahakecil itu, yang lebih kecil dan lebih mematikan cepat atau lambat akan datang menyusul. Sekali lagi, cara-cara yang terlanjur kita pilih sebagai way of life hingga mengantarkan manusia menduduki kuasa planet ini membuat kemunculan virus dan bakteri itu inevitable. Tidak dapat dielakkan.

Ungkapan “Apa yang terjadi di Vegas cukup di Vegas” tidak berlaku bagi virus. Dari kata “virus” lahirlah kata ”viral”, karena kecepatannya dalam menyebar dan menular dari satu titik ke ke titik yang lain. Baru dua bulan lalu dari sofa empuk kantor kita membaca virus tersebut membuat panik sebuah pasar binatang di Wuhan, hari ini penyebarannya sudah sampai di berbagai kota di Indonesia dan memaksa menutup semua perkantoran. Di satu sisi, cukup miris menyadari pengetahuan dan persiapan kita tentang makhluk nanometer itu terbilang nihil.

Sesuram apapun yang manusia hadapi saat ini, sebenarnya sama sekali tidak mengejutkan, minimal bagi para pakar kesehatan dan pemerhati lingkungan. Ketika mereka berbicara tentang virus-virus yang muncul dua dekade ini, mereka sudah memprediksikan hal yang sama –mungkin lebih mengerikan- akan dialami dekade-dekade berikutnya. Begitu yang kita sebut Covid-19 ini muncul beberapa bulan silam, kita hanya bisa membayangkan senyum pahit pada wajah manis mereka. Pasalnya jauh-jauh sebelumnya sudah terjadi dan sering tergaung kabar bahwa epidemi-epidemi biologis akan bermunculan.

Bukan senjata militer berbentuk mikroba atau tentara Tuhan abad modern, melainkan ulah kita sendiri yang menyulap ekosistem menjadi mesin inkubasi raksasa yang menetaskan benih-benih pandemik.

Sementara di sini, saya, mungkin juga anda, dan segenap mayoritas umat Islam, tidak henti-hentinya membahasnya sebagai tanda datangnya kiamat. Barangkali tidak keliru, selama kita mengakui dan bertanggungjawab karena telah membuat ‘tanda’ itu terjadi. Tidak salah pula bila pembahasan-pembahasan dari sudut pandang serupa membuat kita semakin ramah terhadap ekosistem yang terwujud dalam perbaikan-perbaikan atas berbagai kerusakan yang terjadi.

Namun bila yang menjadi output adalah egosentrisme, antroposentrisme, kebencian, kecurigaan, dan sikap-sikap negatif lainnya, tentu justru malah keluar dari rel agama. Lebih-lebih Islam, yang spirit agungnya adalah islah dan ihsan.

Covid-19 telah menekan tombol reset dalam banyak hal. Siapapun merasakannya, banyak hal terjadi dalam hitungan hari.

Institusi-institusi, pusat-pusat hiburan, learning centres, serentak gulung tikar untuk sementara waktu. Ruang-ruang publik sepi dari lalu lalang, jalanan senyap, mobil-mobil sembunyi di garasi masing-masing, pusat-pusat belanja berubah jadi gudang, hampir semua orang mengurung jasad mereka karena panik dan ketakutan, khawatir tertular dan menularkan, dan sederet alasan-alasan lainnya.

Ibaratnya tidak perlu menunggu guru meninggalkan kelas untuk mencatat kesimpulan, demikian pula dengan pandemi yang kini terjadi. Kita musti sudah membuat rangkuman dan menarik pelajaran dari fenomena Covid-19, apa yang musti dicatat; apa yang perlu disiapkan; apa yang harus dikaji lebih dalam; dan apa yang seharusnya dijauhi dan dihentikan.

Bila kita benar-benar bertekad mengatasi datangnya wabah-wabah serupa dan meminimalisir penyebarannya, kita harus memiliki kapasitas canggih untuk mengidentifikasi bermacam penyakit berikut potensi penularannya, memberikan perawatan yang maksimal kepada yang terjangkit, juga melaporkannya ke berbagai jejaring kesehatan di segala penjuru dunia.

Beberapa hal berikut mungkin akan terdengar membosankan, namun di saat-saat mendesak seperti sekarang penting untuk dirumuskan kembali, yakni rencana-rencana pengembangan pusat-pusat kesehatan di berbagai sudut yang selama ini dikampanyekan harus segera terealisasi; laboratorium-laboratorium secepatnya berdiri dan dihidupkan kembali tidak hanya di kampus-kampus; penelitian lebih jauh tentang mikroba digencarkan; persediaan obat-obatan harus merata sehingga selalu siap kapanpun dan di manapun penyakit muncul.

Lebih daripada semua itu adalah sistem pendidikan yang lebih baik, minimal sosialisasi tentang masalah kesehatan kepada seluruh elemen masyarakat tidak menuai hambatan, sehingga siapapun mampu membicarakan dan menilainya secara obyektif, dengan demikian hasil kalkulasi tentang penyebaran dan resikonya bisa akurat, bukan malah mensirkuskan kepanikan di mana-mana yang justru melumpuhkan psikologi sosial. Bahkan kiranya sangat diperlukan fakultas-fakultas kedokteran lebih diprioritaskan bagi mereka yang secara kemampuan lebih mumpuni tinimbang yang sekadar berduit.

David Heymann, seorang profesor bidang epidemiologi dari London School Of Hygiene And Tropical Medicine ketika ditanya tentang wabah-wabah susulan selepas Covid-19 ini, dengan tegas menjawab bahwa manusia akan lagi dan lagi menghadapi wabah-wabah serupa. Ilmuwan yang dulu terdepan dalam menangani pandemi SARS itu juga menekankan bahwa Covid-19 hanyalah peringatan (warning) atas apa yang akan terjadi di kemudian hari.

Heymann menghimbau supaya kolaborasi antar negara dalam ranah tehnis berjalan baik sehingga sama-sama memahami dan siaga dalam menangani kemunculannya, lantas secepatnya menyebarkan informasi secara menyeluruh supaya keadaan mudah dikendalikan.

Adapun untuk saat ini setidaknya ada dua hal yang diinginkan bersama, pertama semoga pandemi ini lekas berlalu, dan kedua tidak disusul pandemi-pandemi berikutnya.

Untuk yang pertama, kita boleh berharap banyak selama kita patuh dengan prosedur yang dipaparkan pihak berwenang, para dokter bersama sejumlah pakar dikabarkan sangat optimis dalam meramu vaksin yang dibutuhkan. Untuk yang kedua, sebaiknya tidak menunggu arahan siapa-siapa untuk menghadang katastrofe tersebut, kita hanya perlu mendengarkan kesadaran naluri kita sendiri: Sudah cukup adilkah perlakuan kita selama ini?

Adalah keadilan yang mustinya membimbing jalan pada masa-masa krisis sekarang ini, seperti halnya pada segala situasi dan keadaan. Hanya keadilan yang mampu menjadi penyelamat. Dalam pengertian lain, bila masih berharap diselamatkan yang Maha Adil, kita musti bisa terlebih dahulu berlaku adil. Adil terhadap lingkungan, adil terhadap binatang, terhadap tumbuhan, lautan, hutan, orang lain, dan tentu, adil terhadap diri sendiri.

Dalam fikih menyoal lingkungan, adil harus menempati core of the core bila ingin tercapai maqashid-nya.

Tulisan ini mengajak semuanya untuk beramai-ramai keluar rumah, kita bunuh egosentrisme masing-masing, kita sapa alam dengan mesra dan penuh kelembutan, bukan dieksploitasi dengan keserakahan. Namun sebelum itu, kita wajib mengurung diri dulu, menunggu yang satu ini lewat.

*Walang Gustiyala adalah seorang fakih muda alumnus Al-Azhar University of Cairo yang sangat konsern terhadap alam. Penulis Katarsis Hitam Putih ini kini mengajar di Bogor. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *