Jaman Plastik (2) – Kisah Perjalanan Tiga Botol

Walang Gustiyala |

Berikut saya sampaikan kisah perjalanan tiga botol plastik air mineral yang telah kosong, terbuang, dan tak bertuan. Secara halus kita menyebutnya sampah. Perjalanan panjang yang mereka tempuh bermula ketika menjadi sampah. Kebanyakan dari mereka akan memberikan dampak buruk bagi planet bumi, namun tidak selamanya demikian.

Untuk lebih mengenal dan memahami botol-botol tak berdosa ini, kita harus menjelajahi asal muasalnya terlebih dahulu. Singkat kata, mereka terlahir di sebuah kilang minyak.

Kandungan yang kita sebut plastik dalam tubuh mereka dibentuk oleh molekul-molekul minyak dan gas yang terikat secara kimiawi demi menghasilkan monomer. Pada gilirannya, monomer ini diikat menjadi rantai polimer panjang untuk mencetak plastik dalam bentuk jutaan pelet.

Jutaan pelet tersebut kemudian dilelehkan oleh mesin lain, baru setelahnya dituang dalam wadah pencetak sesuai disain yang dikehendaki. Begitu kering dan kuat, sebuah mesin lalu mengisinya dengan cairan kemudian membungkusnya. Tutup berikut keterangan produk yang melingkarinya pun terbuat kurang lebih dari bahan yang sama.

Begitu produk dalam kemasan telah siap didistribusikan, tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk terdampar di supermarket-supermarket dan warung-warung, menunggu seseorang kehausan untuk membelinya, membuka tutupnya, meneguk isinya, lalu membuangnya begitu saja. Barulah perjalanan panjang mereka dalam kisah singkat ini bermula.

Perlu saya sampaikan, kisah ini bukan karangan saya, saya hanya menceritakan ulang ke dalam Bahasa Indonesia. Kisah ini saya sadur dari video pendek berjudul “What Really Happens to the Plastic You Throw Away” yang ditulis oleh Emma Bryce, dinarasikan oleh Addison Anderson dalam bentuk animasi garapan Sharon Colman.

Selain menambahkan beberapa penjelasan, saya tertarik menceritakannya langsung dari mulut ketiga botol plastik tersebut. Terdengar fiktif dan tidak masuk akal, memang, sama tidak masuk akalnya ketika mereka terbuang dari tangan manusia ke sembarang tempat.

Botol Pertama:

Seperti ratusan juta ton plastik yang lain, nasibku tidak berakhir begitu saja di jurang lahan pembuangan. Setiap hari ladang luas ini semakin melebar dan melebar seiring semakin banyaknya sampah berdatangan.

Saat aku tergeletak dan memadat di tengah-tengah sana, di antara kepingan sampah-sampah lainnya, hujan tiba-tiba mengguyur kami. Air dari langit tersebut melarutkan bermacam jenis senyawa yang terkandung dalam berbagai macam limbah, beberapa di antaranya tentu sangat beracun.

Selepas itu terbentuklah lindi atau cairan yang keluar dari sampah. Meskipun dalam keadaan tertentu dapat digunakan sebagai pupuk, lindi tetaplah cairan yang berbahaya. Ia terserap ke dalam tanah oleh aliran air, meracuni ekosistem sehingga membahayakan tumbuh-tumbuhan dan berbagai satwa liar.

Cerita yang sama akan kalian dengar dari sampah yang anda lempar dari jendela rumah maupun kaca mobil anda, bungkus sampo, tupperware tidak layak pakai, kantung plastik, dan lain sebagainya. Bahkan termasuk bungkus permen seharga limaratus rupiah yang anda buang begitu saja akan menceritakan penderitaan yang sama.

Tidak ada lagi yang bisa kuceritakan selain keabadianku, namun sayang aku tertimbun berjuta ton sampah yang terus didatangkan. Jika meteor panas tidak kunjung datang dan membakar seluruh permukaan bumi, atau tidak adanya tindakan kongkret manusia dalam mendaur ulang atau sekalian melenyapkanku, anda semua tahu, aku dan milyaran saudaraku masih sanggup hidup seribu tahun lagi.

Botol Kedua:

Berbeda dengan yang diceritakan botol pertama, aku dan tidak sedikit plastik bekas yang lain menempuh perjalanan berbeda yang lebih berwarna. Namun sayang, nasib kami tidak lebih beruntung.

Ketika seseorang membuangku ke sungai, seperti kebanyakan sampah yang dibuang ke sungai, alirannya mengantarku berwisata ke laut. Tidak seperti kantung plastik, bagi botol plastik butuh waktu lebih lama untuk pecah atau sobek, namun itu hanya soal waktu, pasti kualami seiring nabrak sana nabrak sini karena derasnya aliran.

Aku akan hancur menjadi beberapa potongan, setiap potongan kemudian hancur menjadi potongan-potongan yang lebih kecil. Potongan kecil terbelah-belah menjadi bagian yang lebih kecil lagi. Begitu seterusnya, tidak lenyap dan terurai begitu saja. Karena aku adalah plastik, seperti yang anda ketahui sebuah plastik lebih ‘abadi’ dibanding cinta Romeo terhadap Juliet.

Botol plastik sepertiku, setelah berbulan-bulan ditelan lautan, perlahan-lahan memasuki pusaran raksasa, tempat dimana sampah bergentayangan, tempat yang anda sebut sebagai Penampungan Sampah Laut (Ocean Garbage Patch). Setidaknya ada lima titik tampung seperti itu di seluruh dunia, satu di Samudra Hindia, dua di Samudra Atlantik, dan dua sisanya di Samudra Pasifik.

Pada lima pusaran tersebut, arus lautan menjerat jutaan keping plastik. Polutan yang anda ciptakan mengubah samudra menjadi layaknya sup buntut yang sudah basi.

Beragam satwa, seperti burung laut, tidak sedikit tertipu oleh kami. Mereka dan satwa lainnya salah mengira kepingan plastik sebagai makanan, membuat mereka seolah-olah kenyang, padahal tidak, akibatnya mereka sekarat lantaran gagal mencerna. Begitu tewas dan membusuk, tubuh mereka melepaskan racun plastik ke dalam rantai makanan karena dimakan satwa lain. Begitu seterusnya.

Kesalahan manusia adalah terlalu menyepelekan eksistensiku. Puing-puing kecil dariku akan mengendap ke dasar laut kemudian dimakan ikan lentera, ikan lentera dimakan cumi-cumi, cumi dimakan tuna, dan tuna dimakan manusia. Itu sekedar satu pintu bagaimana di zaman sekarang zat-zat plastik bisa mengalir dalam darah manusia, masih banyak pintu lain yang memperlihatkan bahwa plastik telah dan akan terus menjadi bagian dalam rantai makanan manusia.

Hampir semua plastik tidak terurai, artinya kami ditakdirkan untuk pecah menjadi potongan-potongan kecil, hingga bagian terkecil yang tidak mampu lagi terpotong anda beri nama mikroplastik.

Ketika sudah berbentuk mikroplastik, mustahil sepasang mata dapat melihat keberadaanku, saat itu anda hanya bisa membayangkan bagaimana aku larut dan menyatu dengan air laut. Itulah saat di mana aku berwisata mengitari samudera hingga akhir masa, selama-lamanya. Itulah saat di mana sejatinya aku lebih berbahaya bukan hanya pada makhluk di laut, namun juga bagi penghuni di darat. Lebih-lebih bila jumlahku semakin hari semakin bertambah.

Botol Ketiga:

Boleh dibilang aku lebih beruntung dibanding kawan-kawanku yang berakhir mengenaskan di lahan pembuangan maupun yang gentayangan di lautan.

Setelah terbuang, seorang petugas menumpahkan seisi tong di mana diriku berada ke dalam sebuah truk, mereka membawaku ke pabrik tempat diriku dan teman-temanku diremas rata, dicetak sepadat mungkin menjadi balok-balok besar.

Kedengaran sangat menyakitkan dan tidak lebih beruntung? Tentu tidak! Perjalananku jauh lebih selamat dan menyelamatkan. Islam menyebutnya jauh lebih maslahat. Balok-balok tersebut kemudian dihancurkan menjadi potongan-potongan kecil, disaring, dicuci, dibersihkan, kemudian dilebur, sehingga menjadi bahan baku yang bisa diolah sesuai kebutuhan.

Bukan sulap bukan sihir, zaman sudah canggih, dengan cara seperti itu sebuah plastik siap untuk terlahir kembali dalam keadaan bersih dan suci.

Bukankah Islam menawarkan konsep Thaharah?

*Walang Gustiyala, mengajar di Pesantren Tahfizh al-Qur’an Daarul ‘Uluum Lido, Cigombong – Bogor.

 

Share

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *