Ketika Plastik Menempati Ruang dalam Rantai Makanan
Walang Gustiyala |
Sempatkah Anda membayangkan bahwa plastik yang Anda lempar ke sungai suatu hari kemudian bisa terdampar ke dalam perut anda sendiri? Agaknya cukup sulit dibayangkan. Sebelum sampai sana saya mohon izin menyodorkan pertanyaan yang lebih sederhana: Pernahkah Anda berpikir tentang betapa pentingnya lautan dalam kehidupan manusia sehari-hari?
Lautan menempati dua pertiga dari planet bumi. Ia mempersembahkan separuh oksigen yang kita hirup. Lebih jauh lagi laut memoderasi iklim kita, membuka lahan kerja, menyuplai kebutuhan pangan dan obat-obatan. 20% protein untuk seluruh populasi dunia tidak lain berasal dari lautan.
Barangkali kita terbiasa berpikir bahwa karena begitu luasnya, laut tidak akan terpengaruh oleh aktivitas manusia yang hidup sebagai makhluk daratan, bahkan tidak masalah bila dijadikan tong sampah raksasa. Padahal faktanya, kerusakan laut bisa disebabkan oleh tindakan kecil manusia di mana saja.
Laut bukan semata milik masyarakat pesisir, keadaannya tidak bergantung semata pada bagaimana ia diperlakukan oleh warga yang bermukim di pinggiran pantai, bahkan yang tinggal di puncak gunung sekalipun membutuhkan laut dan apapun yang ia lakukan dapat berdampak bagi kesehatan lautan.
Salah seorang peneliti iklim lautan bernama Triona McGrath menyampaikan bahwa lautan telah menyerap 25% dari semua karbon dioksida yang setiap saat kita upload ke atmosfer? Sementara karbon dioksida sendiri adalah salah satu gas rumah kaca yang berperan dalam perubahan iklim. Ketika kita tanpa henti mengirim semakin banyak karbon dioksida ke atmosfer, konsekuensinya akan semakin banyak yang larut ke dalam lautan. Sudah tentu hal ini berperan dalam mengubah kadar kimia lautan.
Di atas hanyalah sedikit gambaran tentang dedikasi laut terhadap keseharian makhluk daratan, tidak terhitung berapa banyak lagi yang harus dimengerti tentang lautan, dan butuh berapa pakar lagi untuk menjelaskan permasalahan-permasalahan yang dihadapinya. Sebagai yang bukan ahli, minimal saya, mungkin juga anda, wajib mengasah kesadaran bahwa fungsi dan peran lautan bukan sekadar obyek wisata dan pemasok pangan berupa ikan belaka.
Sekilas, penelitian terkini tentang kelautan menunjukkan bahwa hanya bagian kecil dari spesies laut yang kondisinya baik-baik saja, selebihnya perlahan-lahan menjemput kepunahannya sendiri-sendiri.
Akibat ulah manusia? Siapa lagi?
Krisis lautan adalah istilah yang masih asing di telinga manusia, meskipun bila kita menyisihkan waktu menyimak penjelasan para pakar akan terdengar bahwa kerusakannya sudah kian tak terperi. Ia adalah krisis global, lebih-lebih bagi Indonesia yang adiluhung peradabannya terukir di atas kepiawaiannya dalam berlaut. Nenek moyang kita adalah pelaut, demikian katanya.
Beberapa waktu lalu saya terpukul oleh sebuah tanyangan Al Jazeera yang durasinya tidak sampai 3 menit, namun pukulan pada kalimat pertama pemberitaannya saja akan terasa hingga tiga minggu:
“Wonderful Indonesia” adalah semboyan yang digaungkan pemerintah untuk menarik wisatawan asing, tetapi pada musim hujan pantai-pantai di sepanjang pulau Bali sama sekali tidak terlihat seperti yang diiklankan dan yang terpajang di brosur. Realitasnya, limbah plastik tidak hanya mengotori permukaan laut saja, namun hingga ke dasar-dasarnya.
Itu baru di Bali, obyek wisata andalan Indonesia. Sudah barang tentu regulasi pembersihan limbahnya lebih dijamin. Saya membayangkan bagaimana dengan daerah-daerah pesisir lain di seluruh penjuru Tanah Air?
Salah satu contoh adalah yang kini dihadapi ikan manta. Tim peneliti gabungan antara Australia dan Indonesia menemukan bahwa plastik menjadi bahaya serius bagi ikan jenis pari ini. Ikan besar yang sangat bersahabat dengan manusia ini saat ini statusnya dilindungi. Pemerintah mencatat bahwa satu ekor saja dapat menghasilkan pendapatan sekitar dua juta dolar per tahun dari turis asing. Itu catatan beberapa waktu lalu, sebelum makhluk cantik satu ini berhadapan serius dengan musuh mematikan bernama sampah plastik.
Sebagai konsekuensi, Indonesia tidak hanya berisiko kehilangan tempat wisata bergengsi ini, tetapi yang lebih mengerikan adalah kerusakan permanen akan ekosistemnya.
Al Jazeera juga melaporkan bahwa lebih dari 90% limbah plastik di Indonesia dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat dan kegagalan kebijakan pemerintah dalam sosialisasi pengelolaan limbah. Data lain yang disampaikan adalah bahwa 40% dari sampah plastik di Indonesia berasal dari sungai yang bermuara ke laut.
Potongan-potongan plastik berukuran besar hancur menjadi banyak bagian yang lebih kecil. Setiap bagian tersebut kemudian hancur menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi. Begitu seterusnya, tidak sirna dan terurai begitu saja. Karena ia adalah plastik, lebih ‘abadi’ dibanding cinta Romeo terhadap Juliet.
Bagian terkecil yang hari ini kita sebut microplastic itu tidak bisa kita sepelekan dampaknya. Ia sangat berbahaya bukan hanya pada makhluk di laut, namun juga bagi makhluk di darat. Bisa dibayangkan plastik mikro ini termakan oleh ikan yang kemudian kita makan.
Sejak kapan plastik menjadi bagian dari rantai makanan manusia? Sejak manusia sembarangan membuangnya. Amat tidak lucu bila revisi ilmu biologi mendatang memasukkan plastik ke dalam rantai makanan manusia. Meskipun begitulah kenyataannya hari ini.
Ikan pari manta dan ikan-ikan yang lain akan terus menelan limbah plastik setiap kali mereka membuka mulut. Ilustrasi lebih jelas tentang bagaimana plastik terkandung di dalam tubuh bermacam jenis ikan yang kita konsumsi tertera dalam artikel saya berikutnya.
Dalam menyikapi hal ini, sebagian besar dari kita tidak bisa berbuat banyak, namun cukup dengan memperlakukan sampah secara tepat saja pahala yang dipersiapkan Tuhan saya yakin tidak sekecil gunung Semeru.
*Walang Gustiyala, mengajar di Pesantren Tahfizh al-Qur’an Daarul ‘Uluum Lido, Cigombong – Bogor.
Menarik hati