Dunia Islam pernah geger saat seorang perempuan secara demonstratif menunjuk diri sebagai imam salat bagi makmum laki-laki dan perempuan (Aminah Wadoud, muslimah keturunan Nigeria, profesor Studi Islam di Virginia University, alumnus Al-Azhar University of Cairo, memimpin salat Jumat, menjadi imam, pada 18 Maret 2004 di Noor Cultural Centre, Toronto, Canada). Tidak sedikit orang mencela. Banyak pula yang mengutuknya.
Hanya segelintir orang saja yang ingat bahwa dalam rimba pengetahuan keagamaan Islam, terselip pendapat-pendapat yang memperbolehkan seorang perempuan menjadi imam salat bagi makmum laki-laki dan perempuan.
Contoh: Ibn ‘Arabi. Ya, Syeikh Akbar Muhyiddin Ibn ‘Arabi berpendapat bahwa wanita boleh saja menjadi imam salat untuk makmum laki-laki maupun perempuan. Hal ini ia sampaikan pada bukunya, Futuhat Makkiyyah.
Ada ulama yang memperbolehkan perempuan mengimami laki-laki dan perempuan lain untuk semua salat seperti Imam Abu Tsaur dan al-Thabari, ada pula yang memperbolehkan hanya untuk salat sunnah.
Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri Mazhab Hambali, menurut satu riwayat memperbolehkan perempuan menjadi imam salat bagi laki-laki hanya dalam semua salat sunah, dan menurut riwayat lain hanya boleh dalam salat tarawih.
Ulama Hanabilah, penganut Mazhab Hambali, sebagaimana sebagian ulama lain, memberikan persyaratan untuk seorang perempuan bisa menjadi imam. Di antaranya, perempuan yang akan menjadi imam dan lelaki yang akan menjadi makmum haruslah mempunyai ikatan kekerabatan. Sebagian ulama lain mensyaratkan imam perempuan haruslah berumur dan bacaannya lebih fasih daripada makmum laku-laki.
Dalam Majmu’, Imam Nawawi menyitir pendapat diperbolehkannya imam perempuan.
وقال أبو ثور والمزني وابن جرير: تصح صلاة الرجال وراءها حكاه عنهم القاضي أبو الطيب والعبدري.
Para ulama yang memperbolehkan imam perempuan juga mengacu pada hadits Umu Waraqah.
Diriwayatkan, Rasulullah SAW mengunjungi Ummu Waraqah di rumahnya, dan beliau mempersilahkan Ummu Waraqah menjadi imam untuk orang yang ada di rumahnya.
وكان رسول الله يَزورُها في بَيْتها وجعل لها مؤذنا يُؤذن لها، وأمَرها أن تؤم أهلَ دارها. قال عبد الرحمن: فأنا رأيتُ مؤذنَها شيخا كبيرا
“Rasulullah pernah berkunjung ke rumahnya (Ummu Waraqah), menunjuk seorang muadzin, dan mempersilahkan Ummu Waraqah menjadi imam keluarganya. Abdurrahman berkata, “Aku lihat muadzin yang ditunjuk Nabi adalah seorang lelaki sepuh”.
Ada hadits lain yang menjadi dasar pelarangan perempuan menjadi imam. Nabi bersabda,
لا تؤمن امرأة رجلا
“Seorang perempuan janganlah menjadi imam makmum laki-laki.”
Yang menarik adalah kenyataan bahwa hadits Ummu Waraqah yang menjadi dasar diperbolehkannya perempuan menjadi imam lebih kuat daripada hadits yang menjadi dasar pelarangannya.
Wallahu a’lam
Tinggalkan Balasan