Tradisi Kurban Manusia 

Daulat Candu H I

Tradisi kurban sama sekali bukanlah tradisi khas Islam. Juga bukan tradisi khas Arab. Bahkan juga bukan tradisi khas agama-agama monoteis. Kaum pagan, kaum penyembah berhala, kaum penyembah dewa-dewa, kaum penyembah pepohonan, juga memiliki tradisi ini. 

Tradisi kurban juga bisa kita temui di banyak sekali kebudayaan sepanjang sejarah umat manusia. Dengan berbagai macam bentuk sesembahannya, kita akan dapati kenyataan bahwa berkurban untuk tuhan, terlepas dari siapapun tuhannya, adalah salah satu bentuk komunikasi paling primitif antara umat manusia dengan kekuatan atau entitas yang lebih tinggi di luar dirinya. 

Sebagai muslim, kita percaya bahwa nabi Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah SWT. Dan manusia pertama ini memerintahkan kedua anaknya yang sedang berselisih untuk haturkan sesembahan kepada Allah SWT. Kita mengetahui bahwa kurban putra yang satu diterima dan yang satu ditolak Allah SWT. 

Demikianlah, ritual berkurban sudah ada jauh sebelum revolusi agrikultur. Jika kita mengasumsikan bahwa yang dimaksud dengan revolusi kognitif adalah penciptaan manusia pertama yang berkesadaran, yakni Nabi Adam, maka sejak mula-mula itulah, sejak manusia berkesadaran, ritual berkurban diselenggarakan. 

Bila Nabi Adam mengajarkan ritual berkurban untuk Allah SWT berupa hewan-hewan ternak atau hasil pertanian yang terbaik, banyak peradaban-peradaban besar yang justru memiliki tradisi ritual mempersembahkan kurban manusia. Peradaban-peradaban besar kuno yang tak saling bersinggungan, dengan demikian tak saling pengaruh-mempengaruhi, memiliki tradisi ritual persembahan yang secara garis besar dilandaskan pada prinsip-prinsip yang mirip. Contoh di bawah ini hanya sebagian saja. 

China 

Saat dinasti Shang berkuasa pada abad kedua sebelum masehi, kebudayaan China memiliki tradisi ritual kurban manusia dengan cara manusia yang dikurbankan ditarik dua kumpulan kuda yang berderap ke arah yang berlawanan. Terkadang mereka diikat di pohon dan dikampak perutnya. 

Hawai 

Penduduk Hawai memiliki kebudayaan kuno yang telah punah. Pada kebudayaan Hawai kuno, tawanan perang dikurbankan untuk menyenangkan hati dewa perang. Ritual ini bahkan bertahan sampai era yang relatif modern. Pada 1804, tercatat 3 orang lelaki dikurbankan. 

Inca 

Kebudayan Inca percaya bahwa bayi yang sehat, gendut, bugar, adalah jenis kurban yang paling disukai oleh tuhan sesembahan mereka. Cara pengurbanan mereka pun beragam. Beberapa bayi dicekik hingga mati. Yang lainnya dipenggal. Sementara yang lain lagi dibakar. Tentu hidup-hidup.  

Aztec 

Tuhan-tuhan Aztec memiliki selera yang berbeda untuk persembahan-persembahan mereka. Untuk dewa hujan, orang Aztec mempersembahkan kurban bayi atau anak-anak.  

Israel 

Israel kuno memiliki tradisi kurbankan bayi laki-laki untuk tuhan-tuhan sesembahan mereka, seringkali dengan cara mengikat dan membakar mereka hidup-hidup. Tidak hanya bayi-bayi tawanan perang, bahkan bayi mereka sendiri seringkali dikurbankan. 

Mesopotamia 

Tradisi Mesopotamia mengajarkan bahwa bila seorang raja meninggal, maka seluruh pembantunya, pelayannya, juga ikut dikuburkan. Mesir juga dikenal dengan kebiasaan mengubur penasihat dan bahkan hewan peliharaan raja bila ia mati. 

Purifikasi Tradisi oleh Nabi Ibrahim 

Kurban, atau qurban, berasal tidak dari bahasa Arab. Ia dari bahasa Semit yang lebih tua. Secara bahasa, kurban berarti dekat, atau mendekat. Seseorang haturkan sesembahan kurban dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah SWT. Atau kepada dewa-dewa, pohon, atau roh binatang, atau entitas super yang lain. 

Nabi Ibrahim lahir dan hidup di kota Ur, termasuk wilayah kuasa budaya Mesopotamia kuno, sebuah budaya agrikultur yang besar, kuat, dan kekuasaannya membentang luas di utara semenanjung Arab. Sebagaimana banyak kebudayaan agraris lain, Mesopotamia mempercayai banyak dewa-dewa, yang seringkali direpresentasikan dalam wujud patung-patung.  

Nabi Ibrahim tumbuh dan dididik dalam kebudayaan politeistik semacam ini. Bahkan ayahnya adalah seorang kepercayaan penguasa, dan sekaligus pemahat terbaik di kota Ur. Pemberontakan-pemberontakan yang ditunjukkan Ibrahim kecil kepada ayahnya, dan secara demonstratif dipentunjukkan kepada warga kotanya, tentu memiliki signifikansi yang tidak begitu besar. Toh, Nabi Ibrahim diutus Allah SWT untuk hijrah dari kota itu. Secara garis besar, budaya politeis, juga budaya haturkan kurban manusia kepada dewa-dewa, sangatlah mapan saat itu. Nabi Ibrahim tentu sangat menyadari hal ini. Dan bisa jadi menganggapnya sebagai hal yang taken for granted. 

Kesadaran tradisi pengurbanan manusia sebagai hal yang mapan dan anggapan bahwa hal itu adalah sesuatu yang taken for granted mencapai puncaknya pada peristiwa paling terkenal dalam hidup nabi Ibrahim: menyembelih Ismail. 

Nabi Ibrahim bermimpi menyembelih Ismail, anak satu-satunya saat itu. Setelah mimpi yang sama sebanyak tiga kali, nabi Ibrahim yakin bahwa itu adalah perintah Allah SWT. Dengan keteguhan seorang nabi dan ketegaran luar biasa seorang anak didikan ibunya yang luar biasa, peristiwa penyembelihan ayah atas anaknya sendiri itu hampir saja terjadi. Tapi Allah kemudian campur tangan, menggantikan Ismail dengan domba terbaik dan memuji sikap tunduk yang ditunjukkan nabi Ibrahim. 

Kita bisa memakai dua sudut pandang dalam menjelaskan peristiwa pengurbanan Ismail. Pertama, Allah SWT melalui peristiwa ini hendak menunjukkan bahwa praktik yang biasa dilakukan oleh kaum nabi Ibrahim, atau umat manusia pada umumnya, yaitu praktik mempersembahkan kurban manusia, tidaklah benar, dan sebagai gantinya, Allah mensyariatkan pengurbanan domba atau hewan ternak sebagai upaya mendekatkan diri kepadaNya. Kedua, Nabi Ibrahim sejak kecil menunjukkan sikap-sikap ketidaksetujuan dengan praktik kaumnya. Ia mengingkari dewa-dewa dan memperkenalkan monoteisme. Ia hancurkan patung-patung representasi dewa-dewa. Dan pada akhirnya, ia demonstrasikan bahwa pengurbanan manusia tidaklah benar, sehingga secara dramatis mula-mula ia tunjukkan kebiasaan kaumnya, lalu pada momen terakhir memproklamirkan bahwa hal itu tidaklah benar dan menggantikan pengurbanan manusia menjadi pengurbanan hewan ternak. 

Nabi Ibrahim tidak menolak praktik pengurbanan untuk tuhan. Tapi Nabi Ibrahim menentang keras pengurbanan manusia. Nabi Ibrahim juga menolak politeisme dan mendakwahkan keesaan Allah SWT, pada siapa seharusnya kurban dihaturkan.  

Yahudi 

Agama Yahudi memiliki tradisi kurban yang lebih mengakar daripada agama Islam. Istilah yang mereka pakai juga sama dengan yang dipakai umat Islam: Qurban. Secara etimologis kata qurban bahkan bukan murni bahasa Arab. Akar kata ini ada jauh sebelumnya. Dalam bahasa-bahasa Semit, kita juga menjumpai istilah yang sama.  

Orang-orang Yahudi mempraktikkan ritual berkurban dengan menyembelih hewan-hewan seperti kerbau, kambing, domba, atau burung dara. Daging kurban lalu dimasak dan dimakan oleh orang yang berkurban, dengan menyisakan sebagian untuk pemuka agama (Kahin) dan sebagian kecil dari daging tersebut dibakar di altar kuil. Sebagaimana Al-Qur’an, kitab Taurat juga memerintahkan umat Yahudi untuk berkurban. 

Dalam praktik Yahudi ortodoks, hanya pada Kahin yang memiliki otoritas menyembelih dan mempersembahkan hewan kurban. Penyembelihan hewan kurban pada tradisi Yahudi tidak ditentukan waktunya, namun ia hanya bisa dilakukan di kuil tertentu 

Purifikasi Tradisi oleh Nabi Muhammad 

Pada masa Nabi Muhammad, orang-orang di semenanjung Arab juga mempunyai tradisi mempersembahkan kurban berupa hewan ternak kepada para tuhan-tuhan suku mereka. Mereka membawa sesembahan mereka ke hadapan patung suku yang mereka letakkan di pelataran Baitullah. Suku-suku Arab menyembelih ternak kurban mereka pada bulan suci tradisional Arab, yaitu bulan Dzul Hijjah. 

Demikianlah, asyhurun hurum, bulan-bulan suci, tradisi ziarah ke Baitullah, ritual thowaf, berkurban, semua itu adalah tradisi yang sudah ada sebelum Islam. Dan nabi Muhammad tidak mengingkari atau menghapus atau menolak tradisi-tradisi pra-Islam ini. Sebagaimana nabi Ibrahim, apa yang dilakukan Nabi Muhammad terhadap tradisi-tradisi ini adalah purifikasi, pemurnian. 

Kini, ibadah berkurban hanya diperuntukkan demi mencari ridho Allah SWT, dengan niat mendekatkan diri kepadaNya. Islam juga menambah satu dimensi lain dari ibadah berkurban: dimensi sosial. Daging kurban tidak dibakar di atas altar atau di hadapan berhala. Daging-daging kurban dibagikan untuk para tetangga, saudara, sesama, siapapun yang membutuhkan.[] 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *